\ You are here for me | Catatan Rizka

You are here for me


 Permata Hati yang Tersisa


Seperti biasanya, hari ini Rini berangkat mengajar anak-anak TPQ di surau desa tempat dirinya tinggal. Bersama sepeda jengki berwarna hitam, begitu kencang dia mengayuh.  Jadwal hari minggu adalah ba’dal maghrib dan itu tandanya perjalanan harus berteman gelap. Dipandangannya tampak tikungan gang terakhir yang diingatnya lewat tanaman melati yang merambat di dinding.
Bau semerbak melati telah menyentuh indera penciuman, tak salah lagi dia akan segera sampai. Tak lupa Rini membunyikan bel sepeda sebelum membelokkan sepedanya.

“Kriing-kriing-kriing-kriing”

Bunyi sepeda terdengar cukup keras hingga mengagetkan seorang wanita paruh baya yang berjalan bersama gadis kecil di sisi kirinya. Ibu berkerudung coklat itupun menoleh kearah pemilik bunyi bel sepeda.

“Bu guru, “ ungkapnya lirih.

Rini hanya mendengar, tak langsung berbalik sapa karena memang si Ibu tak menyapa. Maklum, Rini baru beberapa minggu mengajar dan belum begitu akrab  dengan murid-muridnya. Lalu dipinggirkannya gadis kecil murid TPQ Rini itu. Sebagai gadis jawa yang mengerti tata krama tak lantas ia sekedar melewati mereka.

“Monggo bug, saya duluan nggih” sapanya. Dan tak lama dia sampai di langgar tempatnya mengajar mengaji. Lagi-lagi surau masih tampak sepi, dan parahnya lagi pintu masih tertutup rapat.
Masih ada waktu dua puluh menit dan Rini memutuskan untuk duduk di beranda sambil menunggu anak-anak datang.
“Salim sama bu guru,” suara ibu murid Rini yang tadi bertemu di jalan terdengar samar namun jelas maksudnya. Ida adalah murid Rina yang paling rajin dan pintar. Dia selalu datang pertama kali sebelum teman-temannya. Ibu Ida Nampak sangat menyayangi anak perempuannya itu. Terbukti dengan tak pernah sekalipun ibunya absen mengantar mengaji.

Pernah suatu hari Rini mendengar percakapan antara dua Ibu-ibu yang salah satu diantaranya adalah Ibu si Ida.
“Putranipun pinten bu? “ (anaknya berapa?) Tanya ibu dari salah satu murid kepada Ibu Ida.
“Riyen sekawan, kantun kaleh. Lha niki ingkang ragil kaliyan mbake” (dulu empat, tinggal dua. Lha ini yang paling kecil dan kakak perempuannya) sambil menjawab Ibu Ida nampak murung dan sedikit berberat hati bercerita.






0 komentar:

Posting Komentar


up