\ Februari 2013 | Catatan Rizka

Nggak lucu yaa...


   Malam terakhir di bulan libur semester. Terus? Gak papa sih Cuma pertanda aja biar nanti ketika aku (sempet) baca lagi jadi inget. Ooh ini kutulis pas mau masuk kuliah. lho aku sudah hampir dua bulan liburan ternyata, dan besok jumpa kawan-kawan lagi deh. Asiiikk,,, Baaaa sebenernya mau cerita apaan siih??? ('o') 

   Seharusnya sekarang aku sudah keenakan di atas kasur, mendiamkan raga dan menunggu bunga-bunga tidur yang entah ceritanya apa. Yang pasti aku tak mau tahu dan membahasnya ketika aku bangun tidur nanti. Ini bukan tentang mimpi, tapi masa depan.. #nglindur ngantuk..

   Oiya, tumben gak dingin ni malem. Tahu kenapa? Soalnya emang lagi gak hujan, dan ditambah lagi aku belum ….tiiiiiit…. (sensor). Wkwkwkw malu-maluin. Eh tapi keinget tadi pas lagi kumpul-kumpul kata budhe sama ibuk ni hujannya emang udah agak berkurang intensitasnya, tau kenapa? Mereka bilang si cap go mehnya udah selesai. Ah apaan itu ya? Setahuku si cap go meh itu sebangsa lontong opor ditaburi bubuk kedelai. (ˆڡˆ)  (btw, itu tulisan dan lain-lainnya bener kagak ya? Mohon ditindaklanjuti)

   Kenapa saya tidak segera tidur? Dikarenakan di dalam kamar sekarang kondisinya lagi dingin banget. Bukan kipas angin, apalagi AC (air conditioner) penyebabnya. Tapi tahu kenapa? Hehe, dikarenakan air hujan yang begitu solid kerja timnya. Sampai-sampai kaya om jin aja yang bisa nembus tembok tebel kamar ibuk. (_)‎​‎​  

   It’s ok ya, kalo si air gak pake ikut-ikutan mapan di kasur. Eh masih aja aku dibikin was-was sama air terjun yang emang sih gak banyak jumlahnya tiba-tiba ngagetin orang dengan pembawaannya yang sok cool. (tapi emang dingin si luu). Hey aku kebocoran niih, masak acara sleeping beauty harus disandingi sama seonggok kain perca (baca: gombal) pemirsa. HELLO…

   Ah sudahlah, ini semua tidak lucu tapi menyiksa. Pak Min*, datanglah. Kau adalah pahlawan tatkala rumah ini tak lagi diterjang air yang tak pernah diharapkan kedatangannya. Maaf ya air, tapi kali ini kalian benar-benar membuat kami sedih dan kecewa.

(*Pak Min adalah tukang hebat yang biasanya benerin rumah kalo lagi ada masalah.)

Jangan (takut) memberi




   Memberi dan diberi adalah suatu kepastian yang terjadi dalam hidup. Sebagai manusia biasa, yang tak bisa hidup tanpa orang lain atau dengan kata lain makhluk sosial transaksi ini sering sekali terjadi. Jika tidak diberi maka kita memberi. Ya, tak mungkin kita akan selalu memberi dan tak pernah menerima apapun dari orang lain.

   Tetapi dalam kenyataanya orang yang bermateri lebih banyak akan selalu berpeluang memberi. Karena memang hidup ini saling melengkapi. Bayangkan jika semua orang memberi, maka siapa yang akan menerima pemberian itu? Hehehe (ngarang tapi masuk akal)

   Terkadang meskipun kita merasa bukanlah orang yang pantas untuk memberi sesuatu, tetapi hasrat untuk menyenangkan seseorang itu ada terus bagaimana? Nah ini adalah beberapa pemikiran bodoh yang muncul ketika kita hendak memeberi sesuatu pada seseorang yang sebenarnya dia bisa kog beli sendiri .. ( kesannya kog merendah.. :I  )

# Kira-kira dia bakal suka gak ya..
# Ah, dia kan udah punya banyak yang kaya gini
# Ini kog ga sebanding sama brand yang dia punya
# Paling-paling juga gak dipake
# Duh, kalo dibuang sayang kan uang dan tenaga yang udah dikeluarin
# (Apalagi kalo sampe bawa-bawa orang lain,) Paling ntar kakaknya (atau siapa) juga bisa beliin.

   Nah lo, kalo udah kaya gini pasti niat baik kita akan mandeg. Setelah mengalami dua puluh tahun proses hidup, sepertinya saya telah mendapatkan sebuah ilmu memberi. Tentu saja jika anda mengalami hal-hal tersebut diatas.

   Gak ada salahnya berpikir dulu sebelum memberi, tetapi jangan sampai kebeblasan. Pikirkan dulu apakah pemberian kita itu layak diberikan. Lalu setelah itu sebaiknya lupakan poin-poin diatas, karena itu hanya akan menghambat pahala. Langsung saja, urusan dia mau berkomentar apa-apa that is what’s next and not your field.  Yang terpenting adalah niat baik kita menyenangkan orang lain. So, tunggu apa lagi?

Let’s spread the happiness guys!” (っ ̄³ ̄)っ ~♡



You are here for me


 Permata Hati yang Tersisa


Seperti biasanya, hari ini Rini berangkat mengajar anak-anak TPQ di surau desa tempat dirinya tinggal. Bersama sepeda jengki berwarna hitam, begitu kencang dia mengayuh.  Jadwal hari minggu adalah ba’dal maghrib dan itu tandanya perjalanan harus berteman gelap. Dipandangannya tampak tikungan gang terakhir yang diingatnya lewat tanaman melati yang merambat di dinding.
Bau semerbak melati telah menyentuh indera penciuman, tak salah lagi dia akan segera sampai. Tak lupa Rini membunyikan bel sepeda sebelum membelokkan sepedanya.

“Kriing-kriing-kriing-kriing”

Bunyi sepeda terdengar cukup keras hingga mengagetkan seorang wanita paruh baya yang berjalan bersama gadis kecil di sisi kirinya. Ibu berkerudung coklat itupun menoleh kearah pemilik bunyi bel sepeda.

“Bu guru, “ ungkapnya lirih.

Rini hanya mendengar, tak langsung berbalik sapa karena memang si Ibu tak menyapa. Maklum, Rini baru beberapa minggu mengajar dan belum begitu akrab  dengan murid-muridnya. Lalu dipinggirkannya gadis kecil murid TPQ Rini itu. Sebagai gadis jawa yang mengerti tata krama tak lantas ia sekedar melewati mereka.

“Monggo bug, saya duluan nggih” sapanya. Dan tak lama dia sampai di langgar tempatnya mengajar mengaji. Lagi-lagi surau masih tampak sepi, dan parahnya lagi pintu masih tertutup rapat.
Masih ada waktu dua puluh menit dan Rini memutuskan untuk duduk di beranda sambil menunggu anak-anak datang.
“Salim sama bu guru,” suara ibu murid Rini yang tadi bertemu di jalan terdengar samar namun jelas maksudnya. Ida adalah murid Rina yang paling rajin dan pintar. Dia selalu datang pertama kali sebelum teman-temannya. Ibu Ida Nampak sangat menyayangi anak perempuannya itu. Terbukti dengan tak pernah sekalipun ibunya absen mengantar mengaji.

Pernah suatu hari Rini mendengar percakapan antara dua Ibu-ibu yang salah satu diantaranya adalah Ibu si Ida.
“Putranipun pinten bu? “ (anaknya berapa?) Tanya ibu dari salah satu murid kepada Ibu Ida.
“Riyen sekawan, kantun kaleh. Lha niki ingkang ragil kaliyan mbake” (dulu empat, tinggal dua. Lha ini yang paling kecil dan kakak perempuannya) sambil menjawab Ibu Ida nampak murung dan sedikit berberat hati bercerita.



up