\ Aku Tetap 'Berjalan' | Catatan Rizka

Aku Tetap 'Berjalan'

 “ Maaf, sementara ini kamu tak bisa menitipkan kue-kue di 
  koperasi siswa lagi karena telah ada yang mengisi dengan  
  makanan yang lain. Saya akan menghubungi kamu lagi jika ada
  tempat kosong. Dan jika ada waktu mampirlah untuk mengambil 
  uang penjualan kue kemarin”

     Baru saja kubuka sms dari bu Asih, penjaga koperasi siswa SD Harapan. Nafasku seakan sesak ketika membaca rangkaian kalimat yang singkatnya bermaksud aku tak bisa lagi menitipkan kue buatan ibu. Anita, temanku yang memberitahu sms itu karena memang aku tak punya HP. Alhamdulillah dia berbaik hati untuk memberikan nomernya pada bu Asih.

“Mulai besok, aku tak bisa menitipkan kue lagi. Apa kata ibu nanti ya?” dengan terbata-bata kuceritakan hal ini pada Nita. Sebenarnya hatiku bergemuruh menahan sesak dan hampir saja air mataku jatuh. Tapi tidak, aku tak boleh lemah dihadapan temanku. Aku ingat kata ibu, hanya Allah yang bisa mengasihaniku.

“Bagaimana bisa begitu, bukankah sudah tiga minggu kau menitipkan kue dan selalu habis terjual? Aku yakin kue buatan ibumu itu enak dan banyak anak-anak menyukainya “  Anita temanku yang baik hati ini seakan tidak terima dan memandangku heran mengapa ini terjadi.

     Selang beberapa menit tampak sepeda motor  berwarna biru muda berhenti di depan sekolah kami. Seorang wanita membuka penutup helmnya dan tersenyum.

“ Itu mamaku, aku pulang dulu ya Nun, besok ketemu lagi ya . Daa daa”

     Aku hanya tersenyum melihatnya berlari, dan tak lama diapun hilang bersama Ibunya yang ramah dan ayu itu. Kembali lagi aku memikirkan kue Ibu, nampaknya Nita dan mamanya cukup mengalihkan pikiranku kedunianya yang begitu bahagia. Ibu, bagaimana nasib kue-kue Ibu nanti. Yang lebih penting lagi uang komisi kue yang aku titipkan ini sudah kujatah untuk menabung. Sedikit demi sedikit kukumpulkan untuk membayar jam tambahan kelas karena aku sekarang kelas enam SD.

   
 Sambil berjalan menyusuri jalan pulang aku merenung. Aku kasihan sama ibu, tak tega melihatnya sedih mendengar kabar buruk ini. Ibu, maafkan anakmu yang selalu merepotkan ini. biarpun aku masih terlalu dini untuk memikirkan kebutuhan ekonomi tetapi tekatku untuk tidak merepotkan ibu selalu saja berkobar.

“Kreek,” kubuka korden kamarku yang Nampak kumal tak jelas warnanya apa dengan perlahan. Alhamdulillah, Muna dan Asri adikku tidak sedang berbaring di kasur. Biasanya mereka menghabiskan waktu pulang sekolahnya dengan bermain di kamarku. Kupastikan mereka sedang membantu ibu menumbuk ketela di dapur.  Maklum, setiap harinya harus ada delapan puluh kue lempok yang harus dititipkan dan tak cukup waktu sebentar untuk membuatnya.

     Kurebahkan badanku yang kurus kerontang ini dan tiba-tiba aku memutuskan untuk tidak menceritakan pada ibu tentang kejadian ini. sebenarnya dalam hati aku belum bisa menerima kenyataan bu Asih yang tidak memberikan tempat bagiku menitipkan kue-kue. Padahal aku tahu beliau tahu persis kondisi keluargaku ini.
Tak terasa air mataku meleleh dengan sendirinya,

 “Ya Allah, bagaimana Ainun bisa menabung untuk uang les lagi kalau seperti ini keadaanya,” di pojok kamar terus saja aku berpikiran buruk pada bu Asih, mengapa setega itu beliau bertindak padaku. Hingga beberapa jam aku terus memikirkan bu Asih dan mencari apa penyebab mengapa aku tak boleh berdagang di koperasi lagi.

 “Aku benci bu Asih, aku benci!!! “ saat ini aku benar-benar kecewa dibuatnya. Tapi apa daya aku hanya anak kecil miskin yang pasti tak pernah ada yang merisaukan. Apalagi sekedar hal sepele, nasib dua puluh kue lempok yang tak bisa lagi kutitipkan.

     Kuambil air wudhu dan langsung kutunaikan shalat asar. Usai shalat, aku kembali merenung dengan mukena yang masih melekat di tubuhku. Sembari berdo’a pikiranku masih saja tertuju pada bu Asih. Dan lagi air mataku menetes mengingatnya.

“Mbak Inun, ngapain kamu? Ibu menunggumu, ayo sini cepat gula merahnya sudah siap!” terdengar suara si bungsu dari dapur.

“Iya cepat mbak, kali ini ditambah lasa stlobeli dan nanas. Hmm, pasti teman-teman mbak banyak yang beli” tambah Asri  yang kelas tiga SD belum fasih melafal huruf R.

      Mendengar suara mereka rasanya tak bisa aku terdiam. Lama sedikit pasti mereka menyusulku dan tak boleh kuperlihatkan kecengenganku padanya.

“Tidak, tidak ada yang dapat mengambil rezekiku. Semua telah dijatah Allah untukk. Bukan bu Asih, Allah lah yang berhak  memberi dan mengambil rezekiku” gumamku.

     Kalo ibu saja selalu semangat, akupun harus lebih giat. Aku harus selalu gembira dimata ibu, karena senyum anak-anaknya adalah energinya dalam bekerja.  Aku akan tetap membawa kue ibu ke sekolah, aku yakin Allah akan membantuku memberi jalan dalam mendapatkan rezekiku. 



2 komentar:

Unknown mengatakan...

dijual sendiri ke teman2 sekelas aja Nun, Ainun :D

justmine mengatakan...

iya mba puspa, ceritanya juga begitu ko.. :)

Posting Komentar


up